phone: 0817714664
e-mail: albatholcare@gmail.com
round minus
  • img
  • img
  • img
  • img
  • img
round plus
Showing posts with label puasa. Show all posts

Friday, June 19, 2015

Hikmah Puasa Ramadhan



Berikut adalah beberapa hikmah di balik puasa Ramadhan yang kami sarikan dari beberapa kalam ulama. Semoga bermanfaat.
1. Menggapai Derajat Takwa
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183). Ayat ini menunjukkan bahwa di antara hikmah puasa adalah agar seorang hamba dapat menggapai derajat takwa dan puasa adalah sebab meraih derajat yang mulia ini. Hal ini dikarenakan dalam puasa, seseorang akan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi setiap larangan-Nya. Inilah pengertian takwa. Bentuk takwa dalam puasa dapat kita lihat dalam berbagai hal berikut.
Pertama, orang yang berpuasa akan meninggalkan setiap yang Allah larang ketika itu yaitu dia meninggalkan makan, minum, berjima’ dengan istri dan sebagainya yang sebenarnya hati sangat condong dan ingin melakukannya. Ini semua dilakukan dalam rangka taqorrub atau mendekatkan diri pada Allah dan meraih pahala dari-Nya. Inilah bentuk takwa.
Kedua, orang yang berpuasa sebenarnya mampu untuk melakukan kesenangan-kesenangan duniawi yang ada. Namun dia mengetahui bahwa Allah selalu mengawasi diri-Nya. Ini juga salah bentuk takwa yaitu merasa selalu diawasi oleh Allah.
Ketiga, ketika berpuasa, setiap orang akan semangat melakukan amalan-amalan ketaatan. Dan ketaatan merupakan jalan untuk menggapai takwa.[1]Inilah sebagian di antara bentuk takwa dalam amalan puasa.
2. Hikmah di Balik Meninggalkan Syahwat dan Kesenangan Dunia
Di dalam berpuasa, setiap muslim diperintahkan untuk meninggalkan berbagai syahwat, makanan dan minuman. Itu semua dilakukan karena Allah. Dalam hadits qudsi[2], Allah Ta’ala berfirman,
يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى
Dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku”.[3]
Di antara hikmah meninggalkan syahwat dan kesenangan dunia ketika berpuasa adalah:
Pertama, dapat mengendalikan jiwa. Rasa kenyang karena banyak makan dan minum, kepuasan ketika  berhubungan dengan istri, itu semua biasanya akan membuat seseorang lupa diri, kufur terhadap nikmat, dan menjadi lalai. Sehingga dengan berpuasa, jiwa pun akan lebih dikendalikan.
Kedua, hati akan menjadi sibuk memikirkan hal-hal baik dan sibuk mengingat Allah. Apabila seseorang terlalu tersibukkan dengan kesenangan duniawi dan terbuai dengan makanan yang dia lahap, hati pun akan menjadi lalai dari memikirkan hal-hal yang baik dan lalai dari mengingat Allah. Oleh karena itu, apabila hati tidak tersibukkan dengan kesenangan duniawi, juga tidak disibukkan dengan makan dan minum ketika berpuasa, hati pun akan bercahaya, akan semakin lembut, hati pun tidak mengeras dan akan semakin mudah untuk tafakkur (merenung) serta berdzikir pada Allah.
Ketiga, dengan menahan diri dari berbagai kesenangan duniawi, orang yang berkecukupan akan semakin tahu bahwa dirinya telah diberikan nikmat begitu banyak dibanding orang-orang fakir, miskin dan yatim piatu yang sering merasakan rasa lapar. Dalam rangka mensyukuri nikmat ini, orang-orang kaya  pun gemar berbagi dengan mereka yang tidak mampu.
Keempat, dengan berpuasa akan mempersempit jalannya darah. Sedangkan setan berada pada jalan darahnya manusia. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِى مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ
Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia pada tempat mengalirnya darah.”[4] Jadi puasa dapat menenangkan setan yang seringkali memberikan was-was. Puasa pun dapat menekan syahwat dan rasa marah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan puasa sebagai salah satu obat mujarab bagi orang yang memiliki keinginan untuk menikah namun belum kesampaian.[5]
3. Mulai Beranjak Menjadi Lebih Baik
Di bulan Ramadhan tentu saja setiap muslim harus menjauhi berbagai macam maksiat agar puasanya tidak sia-sia, juga agar tidak mendapatkan lapar dan dahaga saja. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga saja.”[6]
Puasa menjadi sia-sia seperti ini disebabkan bulan Ramadhan masih diisi pula dengan berbagai maksiat. Padahal dalam berpuasa seharusnya setiap orang berusaha menjaga lisannya dari rasani orang lain (baca: ghibah), dari berbagai perkaataan maksiat, dari perkataan dusta, perbuatan maksiat dan hal-hal yang sia-sia.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.”[7]
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ
Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.”[8] Lagwu adalah perkataan sia-sia dan semisalnya yang tidak berfaedah.[9] Sedangkan rofats adalah istilah untuk setiap hal yang diinginkan laki-laki pada wanita[10] atau dapat pula bermakna kata-kata kotor.[11]
Oleh karena itu, ketika keluar bulan Ramadhan seharusnya setiap insan menjadi lebih baik dibanding dengan bulan sebelumnya karena dia sudah ditempa di madrasah Ramadhan untuk meninggalkan berbagai macam maksiat. Orang yang dulu malas-malasan shalat 5 waktu seharusnya menjadi sadar dan rutin mengerjakannya di luar bulan Ramadhan. Juga dalam masalah shalat Jama’ah bagi kaum pria, hendaklah pula dapat dirutinkan dilakukan di masjid sebagaimana rajin dilakukan ketika bulan Ramadhan. Begitu pula dalam bulan Ramadhan banyak wanita muslimah yang berusaha menggunakan jilbab yang menutup diri dengan sempurna, maka di luar bulan Ramadhan seharusnya hal ini tetap dijaga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّ أَحَبَّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ
“(Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.”[12]
Ibadah dan amalan ketaatan bukanlah ibarat bunga yang mekar pada waktu tertentu saja. Jadi, ibadah shalat 5 waktu, shalat jama’ah, shalat malam, gemar bersedekah dan berbusana muslimah, bukanlah jadi ibadah musiman. Namun sudah seharusnya di luar bulan Ramadhan juga tetap dijaga. Para ulama seringkali mengatakan, “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah, -pen) hanya pada bulan Ramadhan saja.”
Ingatlah pula pesan dari Ka’ab, “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan lantas terbetik dalam hatinya bahwa setelah lepas dari Ramadhan akan berbuat maksiat pada Rabbnya, maka sungguh puasanya itu tertolak (tidak bernilai apa-apa).”[13]
4. Kesempatan untuk Saling Berkasih Sayang dengan Si Miskin dan Merasakan Penderitaan Mereka
Puasa akan menyebabkan seseorang lebih menyayangi si miskin. Karena orang yang berpuasa pasti merasakan penderitaan lapar dalam sebagian waktunya. Keadaan ini pun ia rasakan begitu lama. Akhirnya ia pun bersikap lemah lembut terhadap sesama dan berbuat baik kepada mereka. Dengan sebab inilah ia mendapatkan balasan melimpah dari sisi Allah.
Begitu pula dengan puasa seseorang akan merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang miskin, fakir, yang penuh kekurangan. Orang yang berpuasa akan merasakan lapar dan dahaga sebagaimana yang dirasakan oleh mereka-mereka tadi. Inilah yang menyebabkan derajatnya meningkat di sisi Allah.[14]
Inilah beberapa hikmah syar’i yang luar biasa di balik puasa Ramadhan. Oleh karena itu, para salaf sangatlah merindukan bertemu dengan bulan Ramadhan agar memperoleh hikmah-hikmah yang ada di dalamnya. Sebagian ulama mengatakan, “Para salaf biasa berdoa kepada Allah selama 6 bulan agar dapat berjumpa dengan bulan Ramadhan. Dan 6 bulan sisanya mereka berdoa agar amalan-amalan mereka diterima”.[15]
Hikmah Puasa yang Keliru
Adapun hikmah puasa yang biasa sering dibicarakan sebagian kalangan bahwa puasa dapat menyehatkan badan (seperti dapat menurunkan bobot tubuh, mengurangi resiko stroke, menurunkan tekanan darah, dan mengurangi resiko diabetes[16]), maka itu semua adalah hikmah ikutan saja[17] dan bukan hikmah utama. Sehingga hendaklah seseorang meniatkan puasanya untuk mendapatkan hikmah syar’i terlebih dahulu dan janganlah dia berpuasa hanya untuk mengharapkan nikmat sehat semata. Karena jika niat puasanya hanya untuk mencapai kenikmatan dan kemaslahatan duniawi, maka pahala melimpah di sisi Allah akan sirna walaupun dia akan mendapatkan nikmat dunia atau nikmat sehat yang dia cari-cari.
Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نزدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy Syuraa: 20)
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Orang yang gemar berbuat riya’ akan diberi balasan kebaikan mereka di dunia. Mereka sama sekali tidak akan dizholimi. Namun ingatlah, barangsiapa yang melakukan amalan puasa, amalan shalat atau amalan shalat malam namun hanya ingin mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah: “Allah akan memberikan baginya dunia yang dia cari-cari. Akan tetapi, amalannya akan lenyap di akhirat nanti karena mereka hanya ingin mencari keuntungan dunia. Di akhirat, mereka juga akan termasuk orang-orang yang merugi”.”[18]
Sehingga yang benar, puasa harus dilakukan dengan niat ikhlas untuk mengharap wajah Allah. Sedangkan nikmat kesehatan, itu hanyalah hikmah ikutan saja dari melakukan puasa, dan bukan tujuan utama yang dicari-cari. Jika seseorang berniat ikhlas dalam puasanya, niscaya nikmat dunia akan datang dengan sendirinya tanpa dia cari-cari. Ingatlah selalu nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ
Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.”[19]
Adapun hadits yang mengatakan,
صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.” Perlu diketahui bahwa hadits semacam ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if) menurut ulama pakar hadits.[20]
Semoga kita bisa menarik hikmah berharga di balik puasa kita di bulan penuh kebaikan, bulan Ramadhan.




[1] Taisir Karimir Rahman, hal. 86.
[2] Hadits qudsi adalah hadits yang maknanya dari Allah Ta’ala, lafazhnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[3] HR. Muslim no. 1151
[4] HR. Bukhari no. 7171 dan Muslim no. 2174
[5] Disarikan dari Latho’if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 276-277.
[6] HR. Ahmad 2/373. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya jayyid.
[7] HR. Bukhari no. 1903.
[8] HR. Ibnu Khuzaimah 3/242. Al A’zhomi mengatakan bahwa sanad hadits tersebut shahih.
[9] Perkataan Al Akhfasy, dinukil dari Fathul Bari, 2/414.
[10] Perkataan Al Azhari, dinukil dari Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/114, 9/119.
[11] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 9/119.
[12] HR. Muslim no. 782.
[13] Lathoif Al Ma’arif, 378.
[14] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9906
[15] Lathoif Al Ma’arif, 369
[16] Lihat http://swaramuslim.net
[17] Lihat Tafsir Al Qur’an Al Karim Surat Al Baqoroh, 1/317.
[18] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/422.
[19] HR. Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits ini dalam Tuhfatul Ahwadzi, 7/139-140.
[20] Al Hafzih Al ‘Iroqiy dalam Takhrij Al Ihya’ (5/453) mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Awsath, Abu Nu’aim dalam Ath Thib An Nabawiy dari hadits Abu Hurairah dengan sanad yang lemah (dho’if). Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al Hadits Adh Dho’ifah no. 253 mengatakan bahwa hadits ini dho’if (lemah).

Thursday, June 18, 2015

Sejarah Shaum Ramadhan



Sudah biasa para penceramah menyampaikan materi kewajiban dan kemulian bulan Ramadhan dalam tema-tema kajian kultum Ramadhan. Tapi baru sekali ini, penulis mendengar kultum Ramadhan yang bercerita tentang sejarah disyariatkannya puasa Ramadhan.
Dalam ceramah Ramadhan-nya, sang penceramah terlebih dahulu memberi pengantar tentang dasar dimulainya puasa Ramadhan, yaitu karena melihat hilal, sebagaimana perkataan Rasul SAW, “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081).
Selanjutnya, ia menerangkan perihal sejarah disyariatkannya puasa Ramadhan hingga sekarang ini menjadi salah satu kewajiban sekaligus Rukun Islam bagi umat Islam. Awal turunnya kewajiban puasa Ramadhan berkisar pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah. Atas dasar ini para ulama ber-ijma’ bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menunaikan ibadah puasa Ramadhan selama hidupnya sebanyak sembilan kali.
Menurut sang penceramah, model puasa Ramadhan tidak serta merta seperti model puasa hari ini dimana kita dilarang makan-minum dan lain-lain dari terbit fajar hingga tenggelam matahari. Sebelum turun perintah syariat puasa model seperti itu, yaitu selama bulan Ramadhan (antara 29-30 hari) dengan menahan dari sesuatu yang membatalkan selama siang hari dari sejak fajar hingga maghrib, puasa yang dilakukan para sahabat bukanlah sebuah kewajiban fardhu ‘ain, namun semacam pilihan kewajiban diantara dua pilihan.
Zaman Nabi dahulu, umat Islam diminta untuk memilih antara berpuasa atau membayar fidyah. Pada saat syariat ini, para pemeluk Islam yang merasa kaya dan memiliki harta yang berlebih, lebih memilih untuk melakukan fidyahFidyah adalah memberi makan kepada orang miskin / fakir sebanyak satumud. Satu mud adalah makanan pokok setempat untuk satu hari.
”Dan wajib bagi orang yang berat untuk menjalankan ash-shaum maka membayar fidyah yaitu dengan cara memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. Barang siapa yang dengan kerelaan memberi makan lebih dari itu maka itulah yang lebih baik baginya dan jika kalian melakukan shaum maka hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya.” [Surat Al-Baqarah 184]
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir: “Adapun orang yang sehat dan mukim (tidak musafir-pen) serta mampu menjalankan ash-shaum diberikan pilihan antara menunaikan ash-shaum atau membayar fidyah. Jika mau maka dia ber-shaum dan bila tidak maka dia membayar fidyah yaitu dengan memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Kalau dia memberi lebih dari satu orang maka ini adalah lebih baik baginya.”([3])
Ibnu ‘Umar ketika membaca ayat ini فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mengatakan : “bahwa ayat ini mansukh (dihapus hukumnya-pen)”.([4])
Dan atsar dari Salamah ibnu Al-Akwa’ tatkala turunnya ayat ini berkata: “Barangsiapa hendak ber-shaum maka silakan ber-shaum dan jika tidak maka silakan berbuka dengan membayar fidyah.Kemudian turunlah ayat yang berikutnya yang me-mansukh-kan (menghapuskan) hukum tersebut di atas.” ([5])
Oleh sang penceramah itu, singkatnya disebutkan bahwa masa ini disebut dengan masa pilihan/takhyir. Disebut pilihan karena kalau memiliki uang, sahabat boleh untuk memilih fidyah daripada harus berpuasa.
Setelah itu, masa setelah itu berganti menjadi masa mutlak. Yaitu, semua sahabat (umat Islam ketika itu) harus berpuasa semuanya dan tidak boleh ada yang membayar fidyah. Hal itu pun membuat orang kaya agak khawatir karena mereka mau tidak mau harus berpuasa. Nah, inilah sejarah lengkapnya:
“Dahulu Shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam jika salah seorang di antara mereka puasa (shaum) kemudian tertidur sebelum dia ber-ifthar (berbuka) maka dia tidak boleh makan dan minum di malam itu dan juga siang harinya sampai datang waktu berbuka lagi…”
Oleh sang penceramah diceritakan, jika pada saat puasa tidak boleh tidur atau tertidur. Jika tertidur atau tidur, resikonya mereka harus berpuasa selama 24 jam. Dalam sebuah kejadian, Umar diceritakan -masih oleh sang penceramah- tertidur pulas karena kecapekan di ranjang kamarnya. Seketika terbangun dari tidur hingga terjaga, ia baru tersadar bahwa dirinya telah tertidur.
Oleh karenanya, pada malamnya ia tidak boleh berbuka. Pada saat yang bersamaan, ia melihat pakaian istrinya yang tertidur di sisinya tersingkap. Muncullah hasrat Umar untuk berhubungan suami istri dengan istrinya. Singkat cerita, Umar pun mendatangi istrinya dan menunaikan hajatnya. Setelah selesai melakukan hajatnya, Umar pun merasa bersalah pada dirinya kenapa ia tidak kuat untuk menahan keinginannya itu.
Menurut sang penceramah, sahabat Umar RA diceritakan tidak bisa tidur selama 2 – 3 hari setelah kejadian itu. Pada suatu kesempatan setelah shalat subuh berjamaah, para sahabat menghadiri majelis ilmu yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Di sinilah, Umar memberanikan diri untuk bertanya yang kurang lebihnya, “Wahai Nabi, apakah peraturan puasamu ini harus dilakukan seperti sekarang ini? Aku mengkhawatirkan umatmu yang hidup nanti setelah kita meninggal dunia, apakah mereka bakal kuat untuk menunaikan puasa yang seperti ini. Aku saja kemaren lusa tidak mampu menahan untuk berhubungan dengan istriku. Lantas bagaimana mungkin umatmu nanti bisa melakukannya?”
Singkatnya, setelah kejadian itu, turunlah ayat Al Quran,
(أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ)
“Telah dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan shaum (Ramadhan) untuk ber-jima’ (menggauli) istri-istri kalian.”
Para shahabat pun semakin berbahagia sampai turunnya ayat yang berikutnya yaitu:
(وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ)
“Dan makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”
Maka setelah itu, syariat puasa dan aturan-aturan puasa Ramadhan berlaku seperti yang kita rasakan saat ini. Demikianlah penuturan sang penceramah yang penulis dengarkan saat mengisi ceramah di sebuah mushala sebuah perusahaan di Menteng, Jakarta. Semoga dapat memberi info yang bermanfaat. Namun demikian, penulis tidak mengetahui derajat keshahihan / kebenaran asbabun nuzul (sebab turun) sejarah puasa Ramadhan tersebut.
**
Pada keterangan lain (bukan oleh pak ustadz) di dalam suatu hadis disebutkan sebagai berikut:
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ rإِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ اْلإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِي كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ اْلإِفْطَارُ أَتَى اِمْرَأَتَه فَقَالَ لَهَا : أَعِنْدَكِ طَعَامٌ ؟ قَالَتْ : لاَ لكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ – وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ- فَجَاءَتْ اِمْرَأَتُهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ : خَيْبَةً لَكَ ! فَلَمَّا اِنْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِي rفَنَزَلَتْ هَذِهِ اْلأَيَةُ :  )أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ( فَفَرِحُوا بِهَا فَرْحًا شَدِيْدًا فَنَزَلَتْ )وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ([رواه البخاري  وأبو داود]
Artinya: “Dahulu Shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam jika salah seorang di antara merekashaum kemudian tertidur sebelum dia ber-ifthar (berbuka) maka dia tidak boleh makan dan minum di malam itu dan juga siang harinya sampai datang waktu berbuka lagi. Dan (salah seorang shahabat yaitu), Qois bin Shirmah Al Anshory dalam keadaan shaum, tatkala tiba waktu berbuka, datang kepada istrinya dan berkata: apakah kamu punya makanan? Istrinya menjawab: “Tidak, tapi akan kucarikan untukmu (makanan).” – dan Qois pada siang harinya bekerja berat sehingga tertidur (karena kepayahan)- Ketika istrinya datang dan melihatnya (tertidur) ia berkata : ”Rugilah Engkau (yakni tidak bisa makan dan minum dikarenakan tidur sebelum berbuka- pen) !” Maka ia pingsan di tengah harinya. Dan ketika dikabarkan tentang kejadian tersebut kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka turunlah ayat:
)أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ(
“Telah dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan shaum (Ramadhan) untuk ber-jima’ (menggauli) istri-istri kalian.”
dan para shahabat pun berbahagia sampai turunnya ayat yang berikutnya yaitu :
)وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ(
“Dan makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud) [zulfikri]
Referensi: 
http://elfaruq.wordpress.com/
http://hanif019.wordpress.com/
http://www.mail-archive.com/
http://www.pesantrenvirtual.com/
http://www.ikim.gov.my/


Wednesday, June 17, 2015

Pembatal Puasa



Yang membatalkan puasa ada 10 hal: (1) segala sesuatu yang sampai ke jauf (dalam rongga tubuh), (2) segala sesuatu yang masuk lewat kepala, (3) segala sesuatu yang masuk lewat injeksi (suntikan) lewat kemaluan atau dubur, (4) muntah dengan sengaja, (5) menyetubuhi dengan sengaja di kemaluan, (6) keluar mani karena bercumbu, (7) haidh, (8) nifas, (9) gila, (10) keluar dari Islam (murtad).
Kita akan menjelaskan hal di atas dari penjelasan para ulama sebagai berikut.
(1) segala sesuatu yang sampai ke jauf (dalam rongga tubuh), (2) segala sesuatu yang masuk lewat kepala, (3) segala sesuatu yang masuk lewat injeksi (suntikan) lewat kemaluan atau dubur
Ketiga hal di atas termasuk pembatal menurut ulama Syafi’iyah.
Makan dan minum termasuk pembatal jika dilakukan dengan sengaja walau jumlah yang dikonsumsi sedikit. Begitu yang punya makna sama dengan makan dihukumi pula sebagai pembatal.
Patokan makan atau minum bisa jadi pembatal: jika ada yang masuk dari luar ke dalam perut lewat saluran yang terbuka dan dilakukan dengan sengaja dalam keadaan berpuasa. Yang dimaksud jauf di sini adalah berupa rongga. Sehingga menurut ulama Syafi’iyah contoh yang jadi pembatal adalah tetes telinga karena tetes tersebut masuk dari luar ke perut melalui rongga terbuka. Sedangkan menggunakan celak tidaklah termasuk pembatal -kata ulama Syafi’iyah- karena mata bukanlah saluran yang sampai ke rongga perut. Sedangkan menelan ludah tidak membatalkan puasa karena berasal dari dalam tubuh. Lihat penjelasan ini dalam Kifayatul Akhyar, hal. 249.
Sedangkan orang yang makan dalam keadaan lupa, walau banyak, puasanya tidaklah batal. Demikian pendapat Imam Nawawi dengan berdalil pada hadits,
مَنْ نَسِىَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
Barangsiapa yang lupa sedang ia dalam keadaan berpuasa lantas ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena Allah-lah yang memberi ia makan dan minum.” (HR. Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155).
Sedangkan jika seseorang jahil (tidak tahu) akan haramnya makan saat puasa, maka apabila ia baru masuk Islam atau berada di pelosok suatu negeri yang tidak tahu akan ilmu ini, puasanya tidaklah batal. Jika tidak, maka puasanya barulah batal. Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 250.
Komentar:
Mengenai pembahasan “al jauf” ada berbagai pendapat di kalangan ulama madzhab. Kita ringkas saja menjadi dua macam pendapat:
  1. Para ulama yang menyatakan bahwa pembatal puasa terjadi jika ada sesuatu yang diinjeksi melalui otak (rongga pada tenggorak kepala), melalui dubur atau semacamnya. Mereka menganggap bahwa saluran-saluran tadi bersambung dengan saluran pada organ dalam perut. Akan tetapi pendapat ini lemah karena penelitian kedokteran terkini membuktikan bahwa saluran-saluran tersebut tidak bersambung dengan organ dalam tubuh.
  2. Para ulama yang menganggap “الجوف” adalah organ dalam perut saja. Dan ada yang menganggap bahwa “الجوف” bukan hanya organ dalam perut.
Pada kenyataannya, dalil begitu jelas menunjukkan bahwa yang membatalkan puasa hanyalah makan dan minum. Ini berarti bahwa yang dianggap membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk menuju perut (lambung). Inilah yang menjadi batasan hukum dan jika tidak memenuhi syarat ini berarti menunjukkan tidak adanya hukum. Sehingga pendapat terkuat dalam masalah ini, yang dimaksud “الجوف” adalah perut (lambung), bukan organ lainnya dalam tubuh.
Juga ditambahkan bahwa yang membatalkan puasa adalah jika yang masuk ke dalam perut berupa makanan atau minuman artinya bisa mengenyangkan, bukan segala sesuatu yang masuk dalam perut. Alasan yang mendukung hal ini:
  1. Yang dimaksud makan dan minum dalam berbagai dalil adalah makan yang sudah ma’ruf di tengah-tengah kita, bukan dengan memakan batu dan uang dirham. Memakan seperti itu tidak dianggap makan sebagaimana maksud dalil. Oleh karenanya ketika pakar bahasa Arab mendefiniskan apa itu makan, mereka berkata, “Yang namanya makan itu sudah ma’ruf”.
  2. Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya menjadikan makan dan minum sebagai pembatal puasa karena keduanya bisa menguatkan dan mengenyangkan, bukan hanya sekedar memasukkan sesuatu ke perut.
    Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Orang yang berpuasa dilarang makan dan minum karena keduanya dapat menguatkan tubuh. Padahal maksud meninggalkan makan dan minum di mana kedua aktivitas ini yang mengalirkan darah di dalam tubuh, di mana darah ini adalah tempat mengalirnya setan, dan bukanlah disebabkan karena melakukan injeksi atau bercelak. ” (Majmu’ Al Fatawa, 25: 245). Jika demikian sebabnya, maka memasukkan sesuatu yang bukan makanan ke dalam perut tidaklah merusak puasa.
  3. Pengertian makan menurut bahasa adalah dengan memasukkan makanan. Dalam Lisanul ‘Arob disebutkan,
    أكلت الطعام أكلاً ومأكلاً
    “Aku benar-benar makan dan yang dimakan adalah makanan.”Ar Romaani dalam Al Mishbahul Munir berkata,
    الأكل حقيقةً بلع الطعام بعد مضغه، فبلع الحصاة ليس بأكل حقيقةً
    “Makan hakikatnya adalah memasukkan makanan setelah dikunyah. Jika yang dimasukkan adalah batu, maka itu sebenarnya tidak disebut makan”
    Dalam Al Mufrodhaat Al Ashfahani disebutkan,

    الأكل تناول المطعم
    “Makan adalah mencerna makanan.”
    Nukilan-nukilan pakar bahasa di atas menunjukkan bahwa makan hanyalah dimaksudkan jika yang dimasukkan itu makanan. Hal ini dikuatkan pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

    يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
    Puasa itu meninggalkan makanan  dan minuman.” (HR. Bukhari no. 1903). Lihat pembahasan guru penulis Syaikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al Kholil dalam tulisan “Mufthirootu Ash Shiyam Al Mu’ashiroh”.
(4) Muntah dengan sengaja.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
Barangsiapa yang muntah menguasainya (muntah tidak sengaja) sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho’.” (HR. Abu Daud no. 2380, Ibnu Majah no. 1676 dan Tirmidzi no. 720. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Yang tidak membatalkan di sini adalah jika muntah menguasai diri artinya dalam keadaan seperti dipaksa oleh tubuh untuk muntah. Hal ini selama tidak ada muntahan yang kembali ke dalam perut atas pilihannya sendiri. Jika yang terakhir ini terjadi, maka puasanya batal. Lihat Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al Baijuri, 1: 556.


(5) menyetubuhi dengan sengaja di kemaluan
Yang dimaksud di sini adalah memasukkan pucuk zakar atau sebagiannya secara sengaja dengan pilihan sendiri dan dalam keadaan tahu akan haramnya. Yang termasuk pembatal di sini bukan hanya jika dilakukan di kemaluan, termasuk pula menyetubuhi di dubur manusia (anal sex) atau selainnya, seperti pada hewan (dikenal dengan istilah zoophilia). Menyetubuhi di sini termasuk pembatal meskipun tidak keluar mani.
Sedangkan jika dilakukan dalam keadaan lupa dan tidak mengetahui haramnya, maka tidak batal sebagaimana ketika membahas tentang pembatal puasa berupa makan. Lihat bahasan dalam Al Iqna’, 1: 408 dan Syarh Al Baijuri, 1: 559-560.
Dalil yang menunjukkan bahwa bersetubuh termasuk pembatal adalah firman Allah Ta’ala,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid” (QS. Al Baqarah: 187). Tubasyiruhunna dalam ayat ini bermakna menyetubuhi.

(6) keluar mani karena bercumbu

Yang dimaksud mubasyaroh atau bercumbu di sini adalah dengan bersentuhan seperti ciuman tanpa ada pembatas, atau bisa pula dengan mengeluarkan mani lewat tangan (onani). Sedangkan jika keluar mani tanpa bersentuhan seperti keluarnya karena mimpi basah atau karena imajinasi lewat pikiran, maka tidak membatalkan puasa. Lihat Al Iqna’, 1: 408-409 dan Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344.
Muhammad Al Hishni rahimahullah berkata, “Termasuk pembatal jika mengeluarkan mani baik dengan cara yang haram seperti mengeluarkan mani dengan tangan sendiri (onani) atau melakukan cara yang tidak haram seperti onani lewat tangan istri atau budaknya.” Lalu beliau katakan bahwa bisa dihukumi sebagai pembatal karena maksud pokok dari hubungan intim (jima’) adalah keluarnya mani. Jika jima’ saat puasa diharamkan dan membuat puasa batal walau tanpa keluar mani, maka mengeluarkan mani seperti tadi lebih-lebih bisa dikatakan sebagai pembatal. Juga beliau menambahkan bahwa keluarnya mani dengan berpikir atau karena ihtilam (mimpi basah) tidak termasuk pembatal puasa. Para ulama tidak berselisih dalam hal ini, bahkan ada yang mengatakan sebagai ijma’ (konsensus ulama). (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 251).
Dalam Hasyiyah Al Baijuri (1: 560) disebutkan bahwa keluarnya madzi tidak membatalkan puasa, walau karena bercumbu.
Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata, “Diharamkan mencium pasangan saat puasa Ramadhan bagi yang tinggi syahwatnya karena hal ini dapat mengantarkan pada rusaknya puasa. Sedangkan bagi yang syahwatnya tidak bergejolak, maka tetap lebih utama ia tidak mencium pasangannya.” (Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344).

(7) haidh dan (8) nifas

Dari Abu Sa’id Al Khudri ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai sebab kekurangan agama wanita, beliau berkata,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
Bukankah wanita jika haidh tidak shalat dan tidak puasa?” (HR. Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79).
Muhammad Al Hishni, penulis Kifayatul Akhyar berkata, “Telah ada nukilan ijma’ (sepakat ulama), puasa menjadi tidak sah jika mendapati haidh dan nifas. Jika haidh dan nifas didapati di pertengahan siang, puasanya batal.” (Kifayatul Akhyar, hal. 251).
Syaikh Musthofa Al Bugho berkata, “Jika seorang wanita mendapati haidh dan nifas, puasanya tidak sah. Jika ia mendapati haidh atau nifas di satu waktu dari siang, puasanya batal. Dan ia wajib mengqodho’ puasa pada hari tersebut.” (Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344).

(9) Gila dan (10) Murtad

Kedua sifat ini membuat puasa tidak sah. Karena orang yang dalam keadaan gila dan murtad tidak dikenai kewajiban ibadah (bukan ‘ahliyatul ‘ibadah’).
Muhammad Al Hishni berkata, “Jika datang gila atau ada yang murtad, maka batallah puasa karena tidak termasuk ahliyatul ‘ibadah yaitu orang yang dikenai kewajiban ibadah.” (Kifayatul Akhyar, hal. 251).
Bagaimana dengan orang yang pingsan?
Dijelaskan oleh Muhammad Al Hishni bahwa jika hilang kesadaran dalam keseluruhan hari (dari terbit fajar Shubuh hingga tenggelam matahari, -pen), maka tidak sah puasanya. Jika tidak, yaitu masih sadar di sebagian waktu siang, puasanya sah. Demikian menurut pendapat terkuat dari perselisihan kuat yang terdapat pada perkataan Imam Syafi’i. Lihat pembahasan Kifayatul Akhyar, hal. 251 dan Hasyiyah Al Baijuri, 1: 561.
Bagaimana dengan orang yang tidur seharian, apakah puasanya sah?

Ada ulama yang mengatakan tidak sah sebagaimana perihal pingsan di atas. Namun yang shahih dari pendapat madzhab Syafi’i, tidur seharian tersebut tidak merusak puasa karena orang yang tidur masih termasuk ahliyatul ‘ibadah yaitu orang yang dikenai kewajiban ibadah. Lihat pembahasan Kifayatul Akhyar, hal. 251.

Referensi:
  1. Mukhtashor Abi Syuja’, Ahmad bin Al Husain Al Ashfahani Asy Syafi’i, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.
  2. At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib, Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, terbitan Darul Musthofa, cetakan kesebelas, tahun 1428 H.
  3. Al Iqna’ fii Halli Alfazhi Abi Syuja’, Syamsudin Muhammad bin Muhammad Al Khotib, terbitan Al Maktabah At Tauqifiyah.
  4. Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor,  Taqiyuddin Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdul Mu’min Al Hishni, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, 1428 H.
  5. Al Fiqhu Al Manhaji,  Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, dkk, terbitan Darul Qolam, cetakan kesepuluh, 1431 H.
  6. Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al Baijuri ‘ala Syarh Al ‘Allamah Ibnul Qosim Al Ghozzi ‘ala Matan Abi Syuja’, terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.

Google